Tata kota yang asli itu mudah dikenal pada denah kerajaan-kerajaan kuno di Jawa, yaitu adanya alun-alun yang terletak ditengah kota, keraton di dekat alun-alun, pasar, masjid yang biasanya didirikan di sisi barat alun-alun, bangunan-banguna terpenting didirikan secara tradisional dan jalan-jalan lurus berpotongan membentuk bujur sangkar.
Sesuai dengan fungsinya, masjid yang selain untuk sembahyang lima waktu, juga shalat jum’at dan hari raya Islam (Idul Fitri dan Idul Adha), maka masjid semacam itu dinamakan Masjid Agung atau Masjid Jami.
Masjid Agung Cirebon terletak di sebelah alun-alun di desa Lemah Wungkuk Kotamadya Cirebon. Masjid ini dikenal juga dengan nama lain, yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Masjid Pakungwati (Abdurrahman, 1982:83)
Konon Masjid ini dibangun para wali pada tahun 1500 M. Menurut uraian Sulendraningrat dalam bukunya Nukilan Sejarah Cirebon menjelaskan bahwa masjid tersebut didirikan pada tahun 1498 M. Ini berdasarkan perhitungan candra sangkala berupa tonjolan bunga teratai pada mihrabnya yang berbunyi mangal, mungil, mungup. (Uka Tjandrasasmita, 1976:9)
Inisiatif mendirikan masjid di Indoinesia timbul dari sultan atau wali, diperkuat oleh unsur-unsur tradisional yang memandang raja atau sultan dan wali sebagai orang magis.
Menurut babad, salah satu masjid kuno yang didirikan dibawah pimipinan Wali Songo adalah Masjid Agung Cirebon. Masjid lainnya yang juga dibangun Wali Songo adalah Masjid Agung Demak. Bahkan di kedua masjid itu terdapat saka guru (tiang utama) yang terbuat dari pecahan-pecahan kayu kecil yang disatukan sehingga menjadi kuat. Karenanya disebut saka-tatal, yang menurut cerita dibuat Sunan Kali Jaga.
Dibagian luar masjid ini diberi pagar tembok keliling yang sudah tidak asli lagi. Demikian pual pintu gerbang sudah mengalami perbaikan oleh masyarakat setempat tanpa sepengetahuan para arkeolog.
Jika kita lihat pagar tembok k sebelah timur yang berhadapan dengan jalan raya sekarang, maka tampak bahwa denah masjid ini tidak sejajar dengan pagar tembok. Namun denah tersebut yang berbentuk bujur sangkar memang sudah tepat menghadap kiblat yaitu 30 derajat arah barat laut. Ini disadari bahwa pagar tembok masjid dibuat kemudian. Ruangan terbuka terdapat pada sudut-sudut lain berupa lahan yang dimandfaatkan sebagai tempat mendirikan bangunan tempat wudhu.
Masjid Agung Cirebon ini dibagi menjadi tiga bagian : bangunan utama, serambi dan bangunan tempat wudhu. Bangunan utama merupakan bangunan asli, sedangkan bagian serambi, baik serambi timur, utara maupun selatan dibuat kemudian dalam bentuk perluasan. Bangunan tempat wudhu merupakan bangunan baru berupa bangunan tempat pebampungan air, sedangkan sumur masih asli.
Bangunan utama dikelilingi dinding yang tingginya tidak sampai mencapai langit-langit, hanya kurang dari 2 meter. Dinding ini berfungsi sebagai pemisah antara ruang dalam dan serambi. Pada dinding itu terdapat sembilan pintu. Pintu-pintu itu berhiaskan sulur-sulur bunga, hiasan tumpal, pilar semua, hiasan pintalan tali, hiasan daun dari anyaman yang mempunyai gaya huruf kuhfi.
“ Atap masjid ini berbentuk limas bertingkat tiga, bentuk atap seperti ini terdapat pula di masjid Sendang Duwur,” demikian Uka Tjandrasasmita. Masjid ini tidak memiliki momolo atau mustaka (hiasan yang terdapat di puncak masjid).
Pada tahun 1940, masjid Agung mengalami perbaikan, tiang-tiang aslinya tetap dipertahankan walaupun secara teknis tidak lagi menunjang.
Untuk memasuki bagian dalam masjid terdapat sembilan pintu. Pintu masuk utama adalah bagian timur yang diberi nama narpati, sedangkan ke-8 pintu lainnya terdapat di utara dan selatan. Bagian dalam masjid pada saat sekarang memakai ubin terakota berwarna merah dengan ukuran 28x28 m2, tersusun secara diagonal.
Bagian mihrab dibuat dari batu pualam muda berwarna putih. Mihrab berupa banguna yang menonjol ke arah barat laut dan beratap lengkung. Mihrab diberi hiasan dan ukiran berupa tiang-tiang, ceplok bunga, lidah api dan hiasan bunga teratai yang terdapat di langit-langit mihrab.
Disebelah utara mihrab terdapat mimbar kuno yang berbentuk kursi terbuat dari kayu hias dengan ukiran sulur-sulur daun. Mimbar ini bernama Sang Rengganis atau Ratu Tila. Mimbar serupa terdapat di Masjid Jalagrahan dan di langgar Agung Keraton Kasepuhan (Irmawati Marwoto, 1981:53)
Sersambi asli sebelah timur disangga 16 tiang, dibagi dalam dua jalur, tiang berbentuk bulat demikian pula umpaknya. Keseluruhan atap ditutup dengan sirap. Pada dinding tembok serambi terdapat sederetan hiasan medallion yang diisi dengan sulur-sulur daun dan juga anyaman tali yang membentuk hiasan yang menyerupai huruf kuhfi.
Serambi asli di sisi selatan, utara dan barat konstruksi dan keadaannya hampir sama dengan serambi asli disisi timur, hanya saja pada serambi barat terdapat cekungan mihrab dan sekarang digunakan untuk menyimpan keranda. Serambi utara digunakan untuk berkumpul para pengawas masjid, dapur dan untuk tempat bedug yang bernama Sang Guru Mangir atau Kyai Tesbur Putih. Di depan serambui utara terdapat tempayan yang ditanam untuk wudhu.
Bangunan tambahan merupakan serambi yang berbentuk pendopo dibuat tahun 1934-1935. Serambi tambahan terdapat disisi timur (dua serambi) dan di sisi selatan. Tiang-taingnya berbentuk persegi dan dibuat dari kayu jati dengan warna coklat dengan umpak dibawahnya.
Di depan serrambi utara, terdapat bangunan tambahan berupa bangunan berbentuk joglo yang dibawahnya merupakan kolam tempat menyimpan air yang dipompa dari sumur kuno di sbeelah utaranya, untuk wudhu tentunya.
Mengenai ventilasi, ruang-ruang pada masjid merupakan rauang terbuka (tanpa dinding) sehingga udara dapat bebas mengalir. Pada ruang utama yang berbentuk dinding udara juga cukup sejuk Karena tinggi atap/langit-langit yang jauh dari lantai.
Penerangan, baik pada bangunan utama maupun serambi menggunakan terang langit jadi secara alamiah, tetapibanguna utama lebih terang daripada serambi. Hal ini dapat terjadi karena adanya ruang-ruang terbuka pada atap. Tingkatan-tingkatan atap yang ada mempunyai jarak untuk memasukan cahaya. Sedangkan penerangan serambi dari terang samping.
Masjid Agung Cirebon yang terletak di satu kota perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah ini merupakan salah satu peninggalan purbakala masa Islam perlu dilestarikan, karena merupakan bangunan berseraha peninggalan masa lampau yang masih berfungsi dan dan dipakai sampai sekarang.
Dilihat dari segi arsitektur, Masjid Agung Cirebon menunjukan ciri-ciri masjid kuno, dari masa kerajaan-kerajaan Islam dan ini menunjukan kekhasan yang membedakannya dengan arsitektur masjid-masjid di negeri-negeri Islam lainnya.
kekhasan gaya arsitektur itu dinyatakan oleh atapnya yang bertingkat (bertumpung), denahnya yang bujur sangkar dengan serambi di sekelelilingnya dan lain-lain.